Exfanda, Deky Veven (2008) KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
|
PDF
C100040001.pdf Download (283kB) |
|
PDF
C100040001.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
Abstract
Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dilatarbelakanggi oleh watak UUD 1945 yang bersifat multitafsir dan membuka peluang kepada pemerintah bersifat otoriter. Perubahan UUD 1945 juga diharapkan dapat memunculkan suasana checks and balances. Perubahan UUD 1945 telah mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat, yang selama ini dipegang oleh MPR sebagai lembaga tertinggi. Perubahan yang menonjol juga adalah presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung leh rakyat. Keanggotaan MPR juga mengalami perubahan, sesuai ketentuan pasal 2 ayat 1 “majelis permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota dewan perwakilan daerah dan anggota dewan perwakilan daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur dalam undang-undang”. Sebagai lembaga baru, DPD merupakan penjelelmaan dari adanya wakil daerah di tingkat pusat guna menampung aspirasi rakyat sekaligus pluralitas daerah yang ada di Indonesia. Keberadaan DPD dituangkan dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 hasil perubahan. Tetapi DPD memiliki fungsi yang tanggung apalagi jika dikaitkan dengan sistem dua kamar atau bikameral dalam sistem keparlemenan di Indonesia. Sebab, jika melihat konstruksi MPR pasca perubahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka sistem keparlemenan di Indonesia mengindikasikan penggunaan sistem dua kamar (bicameral). Namun akibat keterbatasan fungsi yang dimiliki DPD, maka DPD tidak dapat berfungsi sebagai kamar kedua secara optimal. Secara mendasar, Patterson dan Mughan menyatakan bahwa fungsi utama dari Senat atau nama lainnya adalah untuk menjalankan fungsi representasi (perwakilan) serta fungsi redundancy atau pemberian pendapat dalam proses pembentukan UU atau kebijakan. Sementara Lijphart menyatakan bahwa kehadiran kamar kedua diarahkan untuk meredam agresifitas kamar pertama. Berdasar teori tersebut, maka dapat kita lihat bagaimana latar belakang terbentuknya DPD dalam UUD 1945 apakah sudah menggambarkan sebuah upper chamber atau belum. Pendapat Juniarto terhadap bicameral adalah dengan adanya kamar lain maka, akan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin atau hendak dilakukan oleh badan atau perwakilan yang terdiri dari satu kamar saja, karena berkuasa tunggal. Menurut A. Dahl mengatakan bahwa pembagian kamar dalam parlemen yang demokratis akan melahirkan partisipasi publik yang sknifikan. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa sistem keparlemenan yang berlaku di Indonesia setelah hadirnya DPD adalah sistem bikameral atau dua kamar, tetapi soft atau lunak.Keberadaan lembaga DPD merupakan wujud nyata kepada daerah terhadap penyaluran aspirasi daerah kepada pusat. Dimana pada era sebelumnya kepentingan dan hak-hak daerah sebagai bagian dari Negara kita sama sekali tidak pernah di perhatikan. Walaupun pada saat itu ada juga utusan daerah, yang anggotanya dari tiap-tiap perwakilan daerah. Kedudukan Utusan Daerah juga sebagai bagian dari MPR yang memiliki wewenang menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 dan 6 ayat (2) UUD 1945). Dalam perumusan perubahan UUD 1945 yang kesatu, kedua, ketiaga, dan keempat tidak menghendaki adanya koherensi antara perubahan-perubahan itu, dan memilih tidak untuk mengubah Pasal dalam UUD 1945 yang sudah pernah diubah.1 Keberadaan DPD tidak dirancang sejak awal hal ini dapat dilihat dari perubahan pertama dan kedua UUD 1945. Dalam perubahan pertama dan kedua UUD 1945 perwakilan daerah berwujud utusan daerah yang merupakan bagian dari MPR. Salah satu kelalaian pada saat itu adalah tidak dibahasnya penguatan peran perwakilan daerah. Dalam gagasan perubahan UUD 1945 jelas terdapat kehendak hanya untuk memberdayakan dan menguatkan fungsi dan tugas MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan DPR sebagai lembaga legisltif Negara. Dalam perubahan ketiga terjadi pergeseran kekuasaan justru kekuasaan MPR dikurangi sehingga muncul DPD sebagai konsekuensi dari sistem Presidensial murni. Karena tidak ada perubahan UUD tentang ketentuan Pasal 20 ayat (1) tentang kekuasaan pembentuk Undang-Undang, maka untuk menjaga kohorensi internal menyebabkan DPD tidak diberikan kekuasaan yang sama dengan DPR sebagai badan pembuat UU. Artinya, dalam Pasal ini tidak dikehendaki terjadinya perubahan.Dalam sistem ketatanegaraan DPD merupakan kamar kedua dalam sistem bikameral. Hal ini didasarkan pada besarnya populasi penduduk dan federalisme.2 Kedaulatan rakyat dalam Negara Indonesia telah di wujudkan melalui kemunculan DPD dengan pemilihan secara langsung melalui daerahnya masing-masing. Tetapi keberadaan DPD malah tidak diberikan tempat sebagaimana mestinya. Keberadaan DPD lebih sesuai pada bentuk Negara federal. Sejak adanya DPD sistem perwakilan dan parlemen mengalami perubahan, tentunya dengan adanya perubahan itu mempengaruhi hubungan lembaga Negara yang lain. Dewan perwakilan daerah (DPD), secara fungsional berkaitan langsung dengan MPR, DPR, dan pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten maupun kota, dan BPK. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merumuskan rumusan maslah guna mengetahui kedudukan DPD-RI yaitu, hubungan DPD dengan DPR dan MPR dalam sistem perwakilan Negara RI ? Faktor-faktor yang menyebabkan perumusan tugas dan wewenang DPD asimetris dengan DPR ? Penelitian ini menggunakan pendekatan Metode yuridis-normatif.
Item Type: | Karya ilmiah (Skripsi) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sistem dua kamar atau bikameral, parleme |
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Fakultas Hukum > Hukum |
Depositing User: | Ari Fatmawati |
Date Deposited: | 22 Jul 2009 03:18 |
Last Modified: | 18 Feb 2011 05:20 |
URI: | http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/3681 |
Actions (login required)
View Item |