IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TERHADAP TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA DI KOTA SURAKARTA

WAHYUDI , BAYU (2005) IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TERHADAP TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA DI KOTA SURAKARTA. Thesis thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

[img]
Preview
PDF
R100020037.pdf

Download (74kB)
[img] PDF
R100020037.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (327kB)

Abstract

Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, maka bangsa Indonesia telah memiliki hukum tanah Nasional yang berstruktur tunggal (unifikasi hukum). Sebelum berlakunya UUPA berlaku bersamaan berbagai perangkat hukum tanah di Indonesia. Ada yang bersumber pada hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik religius, ada yang bersumber pada hukum Administrasi Belanda/Perdata Barat yang individual liberal dan ada pula yang berasal dari Pemerintahan Swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia di Jawa dibagi menjadi dua daerah kekuasaan yaitu daerah Gubernemen yang dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan daerah Vorstenlanden atau daerah kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta yang sering disebut daerah Swapraja. Pola penguasaan tanah di Swapraja Surakarta sangat ditentukan oleh raja. Peraturan dasar hukum tanah yang dipakai untuk Swapraja Surakarta disusun tersendiri dan berlaku khusus yang dimuat dalam Rijksblad Kasunanan no 12 s/d no 15 tahun 1938 dan Rijksblad Mangkunegaran no 5 s/d no 8 tahun 1938. Setelah berlakunya UUPA status tanah bekas Swapraja di Kota Surakarta telah menjadi TANAH NEGARA. Seperti disebutkan dalam Diktum Keempat huruf A UUPA bahwa “Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang Undang ini hapus dan beralih ke negara”. Pengertian Tanah Negara tersebut merupakan pengejawantahan dari Hak Menguasai dari Negara. UUPA menganut konsep negara “menguasai” dan bukan “memiliki” dalam hubungan antara negara dan tanah. Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat Indonesia pada tingkatan tertinggi bertugas mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Secara normatif perlakuan terhadap tanah-tanah bekas swapraja dapat mendasarkan pada aturan Diktum Keempat huruf A UUPA, namun secara sosiologis ada tanah-tanah yang merupakan pamijen kraton yang tidak dilakukan individualisasi. Karena dalam pola pemilikan tanah Swapraja, raja tidak pernah memiliki tanah secara pribadi. Sebagian besar telah diindividualisasi dan terdaftar dalam buku Persil, sedangkan raja dan kerabat raja tidak memiliki tanah yang terdaftar dalam buku Persil melainkan kraton sebagai lembaga (bukan Badan Hukum) yang tercatat memiliki tanah berupa pamijen (DKS untuk Kasunanan dan DMN untuk Mangkunegaran). Dengan demikian, pemahaman mengenai status tanah-tanah bekas Swapraja setelah berlakunya UUPA, akan menjadi tidak sederhana ketika berhadapan dengan peristiwa hukum yang konkret. Kesulitan utama adalah menghilangkan kebiasaan untuk segera menerapkan aturan-aturan yang bersifat formal dengan pendekatan legalistik, karena dengan pendekatan ini dapat berakibat pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Adanya berbagai persoalaan tanah bekas Swapraja di Kota Surakarta menunjukan bahwa UU No. 5 Tahun 1960 belum dapat diterapkan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor-faktor seperti diuraikan di bawah ini : 1. Faktor-faktor penyebab dari Pemerintah Kota yang beranggapan : a. Bahwa dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah No. 16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 telah menghapus kekuasaan kraton sekaligus menghapus ketentuan mengenai penguasaan atas tanah di wilayah Swapraja Surakarta. b. Bahwa dengan mendasarkan pada Diktum Keempat huruf A UUPA status tanah bekas Swapraja telah menjadi TANAH NEGARA. c. Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Landreform, pengaturan peruntukan dan pemilikan tanah-tanah bekas Swapraja dengan pembagian sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. 2. Faktor-faktor penyebab dari pihak kraton atau ahli warisnya yang beranggapan : a. Bahwa Penetapan Pemerintah No. 16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 merupakan pembekuan terhadap Pemerintahan Swapraja, sedangkan harta kekayaan yang berupa hak-hak atas tanah berikut bangunannya masih milik Swapraja dalam hal ini pihak kraton atau ahli warisnya. b. Bahwa dengan mendasarkan pada telegram Menteri Dalam Negeri tanggal 25 September 1967 yang isinya antara lain mengenai larangan penanganan tanah-tanah Swapraja, sehingga mengenai status tanah bekas Swapraja tersebut dinyatakan dalam status quo. 3. Faktor-faktor dari peraturan hukum a. Bahwa terjadi perbedaan penafsiran terhadap pengertian TANAH NEGARA atau “tanah yang langsung dikuasai oleh negara”. b. Bahwa UUPA belum dapat mengakomodasikan mengenai subjek hak atas kepemilikan tanah-tanah bekas Swapraja, karena Raja atau lembaga Kraton bukan sebagai subjek hak atas tanah. c. Terhadap tanah-tanah bekas Swapraja belum dibuat peraturan pelaksanaannya, yang dapat mengatasi konflik tanah-tanah bekas Swapraja. Faktanya konflik terjadi bukan antara pihak kraton dengan rakyat, melainkan konflik antara pihak kraton dengan Negara.

Item Type: Karya ilmiah (Thesis)
Uncontrolled Keywords: IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960, TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Pasca Sarjana > Magister Hukum
Depositing User: Mrs. Gatiningsih Gatiningsih
Date Deposited: 04 May 2010 09:07
Last Modified: 15 Nov 2010 09:56
URI: http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/6777

Actions (login required)

View Item View Item